SEJARAH PEMIKIRAN BESAR (IDEOLOGI): NASIONALISME



ABSTRAK
Key Word: nationalism, Indonesia, impact
   Nationalism appear in Europe at 18 century. Nationalism appear because  similarity of attitude buffetings fate. At 20 Century, nationalism rapidly developed to Asia, Africa, and USA. With blossom out of thought of nationalism modern, who pioneer of saint competent and cultural observer. There I two substance of nationalism, first is coalescence and second is freedom. The other impact from nationalism in Indonesia is economical country.

Kata kunci: nasionalisme, Indonesia, dampak

Ali Maschan Moesa dalam buku yang berjudulNasionalisme Kyai (2007:28-29) kata kunci dalam nasionalisme adalah supreme loyality terhadap kelompok bangsa. Kesetiaan ini muncul karena adanya kesadaran akan identitas kolektif yang berbeda dengan yang lain. Pada kebanyakan kasus, hal itu terjadi karena kesamaan keturunan, bahasa atau kebudayaan. Akan tetapi , ini semua bukanlah unsur yang subtansial serba yang paling penting dalam nasionalisme adalah adanya kemauan untuk bersatu. Oleh karena itu, bangsa merupakan konsep yang selalu berubah, tidak statis, dan juga tidak given, sejalan dengan dinamika kekuatan-kekuatan yang melahirkannya. Nasionalisme tidak selamanya tumbuh dalam masyarakat multiras, bahasa, budaya, dan bahkan multi agama. Amerika dan Singapura merupakan bangsa yang multiras. Switzerland adalah bangsa dengan multi bahasa dan Indonesia merupakan bangsa yang yang merupakan integrasi dari berbagai suku yang mempunyai aneka bahasa, budaya, dan juga agama.
Nasionalisme adalah ciri pokok dari kebangkitan. Dapat dilihat pertumbuhan nasionalisme dalam sejarah, maka kita jumpai sesuatu yangparadox (Dekker, 1997:12). Misalnya saja munculnya gerakan nasional sebut saja Budi Utomo adalah merupakan salah satu contoh dari tumbuhnya kebangkitan nasionalisme. Yang harus dicatat adalah, bahwa faktor pokok dari munculnya kebangkitan itu ialah tetap faktor dari dalam negeri sendiri. Faktor dalam negeri atau intern ini merupakan kejadian yang secara langsung, empiris, dihayati atau dirasakan sendiri oleh bangsa Indonesia. Rangsangan untuk bergerak justru datang dari pengalaman batinnya sendiri. walaupun demikian kejadian-kejadian di luar negeri banyak pula memberikan dorongannya.
Sejauh ini, telah dibicarakan struktur dan pemerintahan internal negara, tetapi studi komparatif politik konstitusional tidak akan lengkap tanpa suatu kajian tentang hubungan internasional dan kondisi-kondisi yang menyulitkan. memang, membicarakan hubungan eksternal antara negara-negara berarti menyentuh pula aspek terpenting dalam pemerintahan politik zaman sekarang. Jelasnya bagi bangsa manapun dalam kondisi modern ini, sia-sia saja jika berusaha melaksanakan cara-cara untuk mencapai kesejahteraan sendiri tanpa menjalin hubungan dengan bangsa-bangsa lain.
Revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi abad XX semakin mengaburkan jarak dan mendekatkan hubungan antara negara-negara di dunia satu sama lain. Akan tetapi hubungan yang lebih dekat ini tidak serta-merta memperbesar rasa pengertian internasional (Strong, 2008: 416). Sesungguhnya era kemajuan teknologi telah menyebabkan kekacauan lokal di beberapa tempat terpencil yang dapat meningkatkan ketegangan dunia dan mengancam kelangsungan masyarakat yang sudah beradab. Pendeknya pemerintah politik dunia tidak bisa mengikuti kemajuan teknik dunia. Apa yang seharusnya menjadi kekuatan ilmu pengetahuan yang mempersatukan bangsa-bangsa justru dilemahkan oleh kesetiaan bangsa-bangsa dunia terhadap konsep nasional yang telah usang.
Situasi yang kacau-balau ini sebagian besar menjadi tanggungjawab dari dua perang dunia. Sambil berpacu dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, kedua perang itu menghancurkan kekaisaran-kekaisaran besar, memerdekakan warga negara atau rakyat jajahan, serta melemahkan kedudukan ekonomi dan politik negara-negara besar yang dulu berkuasa. Kehancuran tatanan dunia lama ini, khususnya sejak perang dunia II, berdampak sangat luas. Di satu sisi, rakyat negara-negara yang baru terbentuk sebagaimana mereka bangkit dari bangsa jajahan menjadi bangsa yang merdeka diilhami oleh suatu jenis nasionalisme baru. Di sisi lain, negara-negara Eropa barat yang kehilangan wilayah kerajaan luar negerinya, terus bergerak dengan cara persatuan ekonomi ke arah federasi politik yang menentang konsepsi nasionalisme yang lama. Di antara masalah-masalah yang harus diselesaikan bangsa-bangsa tersebut agar dapat menemukan suatu pola pengendalian dunia yang memuaskan.
Dari penjelasan diatas, dapat dikaji lebih dalam lagi bagaimana sejarah dari nasionalisme,  nasionlaisme dalam perspektif Indonesia, dampaknya bagi masyarakat Indonesia dengan adanya nasionalisme tersebutsertanasionalismedaerahpinggiran di Indonesia. Untuk itu, artikel ini akan membahas lebih dalam tentang nasionalisme.

A.      Sejarah Nasionalisme
Nasionalisme, pada awalnya muncul di Eropa. Gejala ini telah mengambil bentuknya yang jelas pada abad XIX. Nasionalisme ini di dalam pertumbuhannya di sana, menyokong politik imperealisme negara mereka masing-masing (Eropa). Paham nasionalisme berkembang dan menyebar dari Eropa keseluruh dunia pada abad ke 19 dan 20. Pada intinya nasionalisme muncul karena adanya persamaan sikap dan tingkah laku dalam memperjuangkan nasib yang sama, sedangkan Hans Kohn berpendapat bahwa nasionalisme adalah suatu paham yang menempatkan kesetiaan tertinggi individu kepada negara dan bangsa. Sementara itu, Ernest Renant menyatakan, nasionalisme ada ketika muncul keinginan untuk bersatu.
Nasionalisme timbul menjadi kekuatan penggerak di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad ke 18 selanjutnya paham ini tumbuh dan berkembang ke seluruh Eropa pada abad ke 19, hingga awal abad ke 20. Pada abad ke 20, nasionalisme menjalar dan berkembang ke wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dengan adanya hal tersebut, pada abad ke 19 dapat disebut zaman pertumbuhan dan perjuangan nasionalisme modern Asia, Afrika, dan Amerika Latin, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya telah melahirkan banyak negara merdeka di dunia.
Tumbuh dan berkembangnya nasionalisme modern, pada dasarnya disebabkan karena struktur sosial tradisional dengan sistem hubungan yang didasarkan pada persamaan-persamaan yang bersifat primordialistik itu dipandang tidak cocok lagi dengan perkembangan keadaan alam dan zaman karena basis dasarnya dinilai terlalu konservatif dan dapat menimbulkan hal-hal yang bersifat chauvinistik atau nasionalisme yang berlebihan, antagonistik, serta ketertutupan negara terhadap pengaruh negara lain. Selain itu, sebab lain lahirnya nasionalisme adalah penaklukkan negara bangsa lain oleh negara tertentu yang mengakibatkan kesengsaraan bagi masyarakat negara bangsa yang ditaklukkan. Oleh sebab itu, nasionalisme sering diasosiasikan sebagai ekspansinisme, imperialisme, dan peperangan.
Tumbuh dan berkembangnya pemikiran nasionalisme modern tidaklah dipelopori oleh kalangan politikus atau negarawan, tetapi oleh para ahli ilmu pengetahuan dan budayawan seperti pelopor dan pemikir nasionalisme modern di Eropa Barat antara lain John Locke, J.J Rousseau, John Gottfried Herder dan lain-lain. Beberapa negara-negara yang penting itu berebut wilayah di tanah-tanah Asia dan Afrika. Negara-negara nasional seperti Jerman, Prancis, Inggris, Italia bertarung memperebutkan rejeki di Asia dan Afrika. Dengan demikian terlihatlah bahwa watak nasionalisme Eropa pada tahap itu adalah agresif dan sering juga sovinistis(Dekker, 1997:13).  Negara-negara Eropa yang melaksanakan imperealisme dan kolonialisme dengan menduduki tanah jajahan. Nasionalisme negeri jajahan, sasaran pokoknya melawan imperialisme. Nasionalisme di tanah jajahan itu bersifat revolusioner. Nasionalisme ini tidak hanya menginginkan lenyapnya penindasan politik saja, tetapi juga penindasan sosial ekonomi. Dengan demikian tampaklah perbedaan watak nasionalisme Eropa dengan nasionalisme Asia.
Perbedaan ini ditentukan oleh situasinya yang berlainan dan juga oleh faktor politik-sosial-ekonomi di negara masing-masing. Karena adanya perbedan dan kategori nasionalisme pada umumnya (Eropa dan Asia), maka ada pula orang (Halkema Kohl) yang menanamkan nasionalisme yang tumbuh di daerah kolonial-kolonial itu (khususnya Asia) dengan nama Colonial Nasionalism atau nasionalisme kolonial.  Istilah itu menimbulkan asosiasi pikiran yang negative terhadap nasionalisme yang tumbuh di Asia. Adanya predikat kolonial untuk suatu gerakan yang didukung oleh mereka yang terjajah, dengan tujuan yang positif, sukar diterima. Karena itu nasionalisme yang berkembang di Asia lebih tepat diberi nama Nasionalisme Asia. Nasionalisme timur lahir dalam masyarakat yang terobsesi akan apa yang telah dicapai oleh Barat tetapi secara budaya mereka tidak dilengkapi oleh prakondisi-prakondisi modernitas yang memadai. Pada satu sisi, nasionalisme Timur merupakan emulasi dari apa yang telah terjadi di barat. Di sisi lain, nasionalisme juga menolak dominasi barat.
Menurut Hertz (Nasionality in History and Politics) (1951) di dalam nasionalisme, setidaknya ada dua unsur yang penting yaitu persatuan dan kemerdekaan(Dekker, 1997:13). Dua hal ini sukar dipisahkan. di satu pihak kemerdekaan memerlukan adanya persatuan bangsa dan di lain pihak persatuan memerlukan adanya kemerdekaan. Tanpa kemerdekaan sangat sukar membina persatuan dan sebaliknya tanpa persatuan sulit mencapai kemerdekaan. Khusus terhadap corak inti penjajahan dari nasionalisme, harus diingat bahwa yang dibenci bukan orang atau bangsa asing, tetapi faham yang mereka laksanakan (imperealisme).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa nasionalisme itu merupakan suatu paham rasa cinta dan setia terhadap negara yang ditunjukkan oleh rasa ingin bersatu. Dalam dunia Timur (daerah yang terjajah oleh Eropa) nasionalisme merupakan kebangkitan dari rakyat jajahan untuk mendapatkan kemerdekan dan mendirikan negara yang bebas dan merdeka dari penjajahan. Sedangkan nasionalisme Barat bangkit dari reaksi masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan budaya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kapitalisme dan industrialisme. Budaya mereka memungkinkan mereka menciptakan sebuah kondisi yang dapat mengakomodasi standar-standar modernitas.

B.       Nasionalisme dalam Perspektif Indonesia
Nasionalisme dan negara-bangsa (nation state) sebagai wadah organisasi sosial yang membungkus dua kekuatan besar di dunia. Keduanya mampu mendominsai wacana politik dunia selama abad 20 secara bertahap tetapi pasti, sekarang mulai berhadapan dengan sejumlah tantangan yang memenpatkan keduanya dalam psisi yang cukup sulit (Al-Hakim, 2012:184).
Kajian atas nasionalisme dan bangsa, dan juga negara-bangsa, hingga kini masih tetap  menjadi perdebatan oleh para ahli. Bagi sejumlah ahli bangsa dan kesadaran berbangsa diyakini merupakan representasi atau perwakilan dari negara masa lalu yang terikat dalam upaya-upaya realisasi diri. Bangsa dalam makna ini adalah suatu entitas primordial yang merupakan bawaan yang melekat dalam nature dan sejarah manusia.Secara objektif suatu bangsa dapat diidentifikasi lewat perbedaan-perbedaannya dengan bangsa lain dalam hal secara panjang. Keterikatan dengan tanah air, dan perjuangan-perjuangan untuk mendapatkahn otonomi politik.
Namun demikian, rumusan yang pasti mengenai nasionalisme dan negara bangsa sangat sulit untuk digagaskan.Tetapi jika diperhatikan arena persemainan awal, konsepsi tentang nasionalisme dan negara-bangsa diikuti logika dibalik kehadiran nasionalisme dan negara bangsa yang tumbuh di negara-negara bekas jajahan, masyarakat menemukan bahwa keduanya pada dasarnya adalah fakta perjanjian antara warga yang berdaulat dengan negara. (Ley,1997:33-38).
Nasioanalisme dan negara bangsa secara radikal telah merombak struktur kesetiaan politik rakyat dari kesetiaan kepada dinasti menjadi prinsip kedaulatan rakyat dan kesetiaan kepada tuan penjajah untuk digantikan dengan gagasan tentang kewarganegaraan. Nasionalisme telah mentransformasikan masyarakat dan individu dari posisi sebagai subjek pasif dalam politik menjadi warga negara aktif yang mampu mengatur diri sendiri. Dengan demikian, nasionalisme dan negara bangsa bukan saja memperhatikan kesejajaran antara masa rakyat dengan penguasa, tapi sekaligus didalamnya melekat impian-impian (harapan dan inspirasi) masyarakat yang harus diwujudkannya (Al-Hakim, 2012:185).
Substansi nasionalisme dan negara bangsa mencakup antara lain mengenai demokrasi, keadilan sosial, kesejahteraan dan hak asasi manusia. Mustahil berbicara nasionalisme dan negara-bangsa tanpa mengaitkan sub-sub tersebut. Jika gagasan nasionalisme dan negara bangsa tersebut dicermati, logikanya sangat sedikit orang tidak sepakat akan keduanya. Didalam konsep nasionalisme dan negara bangsa melekat semua nilai-nilai kemanusiaan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap peradaban manusia. Tetapi seperti terungkap pada tingkat praktis dalam masyarakat politik indonesia, nasionalisme bisa dengan mudah melahirkan penolakan atau sinisme di kalangan masyarakat. Nasionalisme secara politiuk agar “menjauhi” sesuatu atau “menerima” sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani dan aspirasinya. Dalam konteks menjauhi dan “menjauhi dan “menerima” tersebut, nasionalisme Indonesia, sering mengalami hambatan di hadapan masyarakat dan pemerintahannya sendiri. Menurut Ley (1997) hambatan tersebut antara lain:
Pertama, berkaitan dengan pemahamannya yang mendalam sebagai suatu ideologi bahkan dipahami sebatas sebagai salah satu dari aliran politik yang pernah malang melintang di rimba  raya politik Indonesia. “dikerangkengnya” nasionalisme Indonesia dalam salah satu kekuatan politik di masa lalu telah mewarnai dan merosotkan posisi nasionalisme sampai pada fase terbatas sebagai aliran politik. Padahal, nasionalisme bukan semata-mata berfungsi sebagai ideologi. Merupakan gejala yang mudah ditemui de sembarang belahan dunia, dan sekalipun menduduki dasar moral dan emosi seperti halnya dengan ideologi, nasaionalisme tidak memiliki prinsip-prinspi universalitas seperti sosialisme atau kapitalisme misalnya yang memungkinkannya untuk di klaim semata-semata sebagai ideologi. Dalam sejarah politik masa lalu Indonesia, diketahui bahwa berbagai aliran politik, stermasuk nasionalisme yang tumbuh pada waktu tersebut terlibat dalam “peran” dan “konflik” tanpa henti. Ketika nasionalisme dimengerti sebatas sebagai salah satu dari aliran politik Indonesia, maka akan dengan mudah diperlakukan sebagai lawann oleh aliran politik lainnya.
Kedua, berkaitan dengan praksis nasionalisme yang mengikuti logika nasionalisme internal. Jenis nasionalisme ini, memberikan penekanan pada superioritas dan keabsahan negara atas warganya dan mengabaikan subtansi dari nasionalisme sebagai suatu “ fakta perjanjian” antara warga negara dengan negara. Padahal, sebagai fakte perjanjian, nasionalisme harus menekankan bukan saja bahwa warga negara bangsa memiliki hak untuk merdeka lewat negara tetapi yang bersangkutan juga memiliki hak yang sebanding untuk mengekspresikan diri mendapat kemerdekaan dan kemungkinan untuk berkembang. Bung Karno, telah sejak dini menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya sebatas sebagai “jembatan emas” karena itu, didalam negara Indonesia yan merdeka, terletak kewajiban bagi negara dan masyarakat semua untuk memerdekakan setiap individu. Dengan demikian, bukan semata-mata kemerdekaan bangsa yang menjadi pusat perhatian nasionalisme, akan tetapi sekaligus kemerdekaan individu yang menjadi warga dari bangsa yang bersangkutan.
Ketiga,  bertalian dengan kenyataan bahwa nasionalisme kadang digunakan sebagai sarana untuk mengabsahkan atau membela sesuatu yang bertentangan dengan logika. Masyarakat sering berhadapan dengan kenyataan bahwa atas nama nasionalisme diharuskan untuk membenarkan langkah-langkah yang bahkan merugikan bangsa secara keseluruhan. Banyak contoh kasus, dimana nasionalisme secara gegabah telah digunakan untuk melegalisasi hal-hal yang sebenarnya tidak punya kaitan dengan kepentingan negara dan bangsa. Misalnya penggusuran demi pembangunan nasional, jika menolak penggusuran maka berarti anti pembangunan dan tidak nasionalis. Berdasarkan hambatan-hambatan tersebut, maka persoalan pokok nasionalisme di Indonesia pada dewasa ini, bagaimana rakyat bisa diberdayakan. Hal ini sesuai dengan cita-cita reformasi total terutama dalam rangka pemberdayaan civil society atau masyarakat sipil.
Gagasan pemberdayaan masyarakat sipil hendaknya digunakan sebagai wancana dalam mengisi cita-cita refosmasi dan sekaligus dalam pembangunan nasionalisme Indonesia. Sebenarnya bila dicermati, gagasan pemberdayaan masyarakat sipil itu sudah ada dalam UUD 1945. Contoh pasal 1 UUD 1945 yang menegaskan bahwa: “setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, dan pemerintah menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang diatur dalam undang-undang”. Penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah, menunjukkan negara (pemerintah) memiliki komitmen tinggi terhadap pemberdayaaan warga negara (rakyatnya). Selain itu masih banyak lagi tuntutan pasal-pasal konstitusi yang memuat hak-hak asasi manusia yang harus direalisasikan oleh negara dan ditunjukkan kepada rakyat (warga negara).  Tercantum hak individu (warga negara) dalam sebuah konstitusi (UUD 1945), belum tentu menjamin apakah kebijakan pemerintah mampu memberdayakan potensi bangsa yang melekat pada masyarakat atau rakyat. Hal ini menuntut adanya kemauan dan kesadaran negara (Pemerintah), bahwa keberadaannya di dalam organisasi ini adalah semata-mata untuk mengemban (misi suci) yaitu menciptakan kesejahteraan umum.
Kinerja pemerintah dalam membuat kebijakan, akan sangat berpengaruh bagi dampak kebijakan tersebut. Pemberdayaan masyarakat sipil, pada dasarnya juga merupakan proyek kebudayaan (cultural) yang harus diciptakanh oleh bangsa dalam menyongsong format Indonesia baru dan nasionalisme Indonesia. Salah satu cirinya, adalah terdapatnya ruang publik dimana semua orang harus mampu tumbuh dan mengabtualisasikan diri serta mandiri dan sukarela untuk mengambil bagian dalam pemerintahan. Perilaku setiap warga negara dan pemerintahan, terikat oleh dan harus tunduk pada hukum yang dihasilkan oleh sebuah perjanjian masyarakat atau kontrak sosial.  Untuk menciptakan masyarakat yang beradaban (termasuk juga negara dan pemerintah yang beradab),  merupakan rangkaian perjuangan untuk selalu menegakkan prinsip-prinsip keadilan dan menempatkan komponen masyarakat dan negara dalam suatu kesederajatan. Jika hal ini disadari oleh seluruh komoponen bangsa maka cita-cita reformasi akan segera terwujud, begitu jiga nasionalisme bangsa Indonesia akan menjadi pokok.

C.      Dampak Nasionalisme Terhadap Masyarakat Indonesia
Dengan adanya nasionalisme ini menciptakan perubahan yang memerlukan ruh dan semangat yang menjadi landasan utamanya. Nasionalisme Indonesia pada hakikatnya adalah ruh dan semangat yang menggerakkan untuk bangkit melawan penindasan ekonomi, politik, sosial-budaya serta pertahanan dan keamanan dari cengkraman penguasa kolonial. Hal ini tidak terlepas dari keinginan yang besar untuk mendirikan sebuah Indonesia merdeka (Supriyono, 2008:11). Artinya, Indonesia yang berdaulat penuh secara politik, ekonomi, sosial-budaya serta perahanan dan keamanan. Nasionalisme inilah yang menjadi dasar munculnya tekad untuk berbangsa, bernegara, berbahasa, bertumpah darah satu yakni Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam sumpah pemuda 1928. Semangat satu bangsa, bahasa dan bertumpah darah itu terus menggumpal hingga titik puncak terwujudnya jembatan mas pada 17 Agustus 1945. Kemerdekaan yang berhasil diperjuangkan itu, hanyalah satu tahapan awal dari cita-cita dan tujuan perjuangan, yakni untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Namun sayang, cita-cita dan tujuan mulia itu masih jauh dari realitasnya. pemimpin-pemimpin Indonesia dari masa ke masa selalu mengkhianati amanat penderitaan rakyat. Perlu sekali adanya penghidupan kembali semangat proklamasi. Ungkapan Bung Karno, pada peringatan Hari Ulang Tahun RI yang ke-5 tahun 1950 amat tepat untuk dihidupkan kembali. “Semangat Proklamasi adalah semangat rela berjuang, berjuang mati-matian dengan penuh idealism dan dengan mengesampingkan segala kepentingan diri sendiri. Semangat Proklamasi adalah semangat persatuan, persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada pengecualikan sesuatu golongan dan lapisan. Semangat Proklamasi adalah semangat membentuk dan membangun, membentuk dan membangun negara dari ketiadaan, dari kenihilan dan lain tak lain tak bukan ialah karena kita ikhlas berjuang dan berkorban, karena kita mutlak bersatu, karena kita tak segan mengucurkan keringat untuk membentuk dan membangun. Dan manakala sekarang tampak tanda-tanda kelunturan degenerasi, kikislah bersih semua kuman-kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkan kembali Semangat Proklamasi”.
Dalam situasi serba nestapa dan keterjajahan ini, tidak lain kita harus menghidupkan kembali semangat proklamasi Indonesia yang menjadi dasar, spirit untuk melawan kolonialisme-imperialisme dan feodalisme oleh bangsa sendiri. Semangat proklamasi sebagai sandaran nasionalisme bangsa Indonesia amat sentral perannya dalam mendorong bangkitnya bangsa Indonesia. Karena itu harus menggelorakan terus-menerus semangat, paham, kesadaran nasionalisme di jiwa, hati, pikiran dan tindakan kita.
Masuknya tentara Jepang ke Indonesia pada tahun 1942 mendapat sambutan baik dari penduduk setempat. Tokoh-tokoh nasionalis Indonesia seperti Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta bersedia melakukan kerja sama dengan pihak Pemerintahan Pendudukan Jepang. Faktor yang mempengaruhi kerjasama tersebut yaitu kebangkitan bangsa-bangsa Timur dan ramalan Joyoboyo yang hidup di kalangan rakyat. Dalam ramalan Joyoboyo dikatakan bahwa akan datang wong kate yang akan menguasai Indonesia selama umur jagung dan sesudah itu kemerdekaan akan tercapai. Faktor lain yaitu diperkenalkan pendidikan Barat kepada orang-orang pribumi oleh pemerintah Hindia Belanda.
Sebelum Perang Dunia II telah terjadi hubungan antara tokoh-tokoh nasional Indonesia dan pihak Jepang. Diantaranya yaitu Gatot Mangkupraja dan Moh.Hatta.Setelah berkunjung ke Jepang pada akhir tahun 1933, Gatot mempunyai keyakinan bahwa Jepang dan gerakan-gerakan Asianya mendukung pergerakan nasional Indonesia. Menurut George Kanahele (1969) menyatakan bahwa meskipun keyakinan nasionalisme Moh.Hatta mendalam dan tidak mudah dipengaruhi, tetapi Moh. Hatta sedikit bersimpati terhadap Jepang. Moh.Hatta tidak mengecam tantangan dinamis Jepang terhadap rongrongan dari pihak Negara-negara Barat.
Soekarno dan Moh. Hatta bersedia untuk bekerja sama dengan Jepang didasarkan pada keyakinan kedua tokoh tersebut terhadap ketulusan Jepang dalam janjinya untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Soekarno menyebutkan bahwa Jepang dalam keadaan kuat sedangkan Indonesia dalam keadaan lemah. Oleh karena itu, bantuan Jepang diperlukan oleh rakyat Indonesia untuk mencapai cita-citanya.
Soekarno-Hatta dan Sjahrir, tiga pemimpin nasionalis senior pada waktu itu sepakat untuk bergerak pada dua jalur. Soekarno dan Hatta menggunakan jalur kerja sama dengan pihak Jepang, sedangkan Sjahrir menggunakan jalur nonkooperasi. Pada masa pendudukan Jepang, kaum nasionalis tidak mendapat tekanan melainkan menjalin kerja sama dengan pihak Jepang, hal tersebut berbeda pada masa penjajahan Hindia Belanda. Kerja sama kaum nasionalis Indonesia dengan pihak Jepang didahului dengan tindakan Pemerintah Militer Jepang yang secara berangsur-angsur membebaskan pemimpin nasionalis Indonesia.
Tindakan Pemerintah Militer Jepang tersebut bertolak dari anggapan bahwa kaum nasionalis Indonesia sangat berpengaruh kepada masyarakatnya sehingga mereka perlu mengadakan kerja sama dengan pihak nasionalis untuk memudahkan pengerahan potensi rakyat bagi usaha perangnya. Hatta menyatakan kesediaannya berdasarkan penegasan dari pemerinta Militer Jepang yang bertujuan untuk tidak menjajah Indonesia, melainkan membebaskan sekalian bangsa Asia dari dominasi negara-negara barat.
Dampak lain dari nasionalisme di Indonesia dalam berbangsa dan bernegara adalah memajukan ekonomi negara. Dengan majunya ekonomi Indonesia, maka Indonesia kembali jaya dan patut dibela dari ancaman musuh. Majunya ekonomi juga akan meningkatkan kebangsaan dan rasa cinta pada Indonesia. Pengaruh agama yang dianut oleh bangsa Indonesia juga memberikan watak terhadap nasionalismenya. Penghargaan atas manusia dalam kedudukan sama derajat, sesuai dengan ajaran agama, demikian pula corak nasionalisme Indonesia, yang tetap menjunjung tinggi martabat manusia tersebut.
Sesuai dengan pengertian dari nasionalisme di atas yang sudah disebutkan yaitu ciri pokok dari kebangkitan. Indonesia adalah negara di Asia yang khususnya berada di Asia Tenggara yang dijajah oleh bangsa Eropa salah satunya adalah Belanda, membuktikan nasionalismenya atas keinginannya merdeka dan lepas dari belenggu penjajah. Tanpa adanya rasa nasionalisme Indonesia tidak akan pernah merdeka sampai sekarang. Kemerdekaan Indonesia ini adalah bukti bahwa nasionalisme telah ada pada diri bangsa Indonesia. Adanya keinginan kuat untuk melawan bangsa penjajah (Eropa) agar tidak terus-menerus dikuasai oleh penjajah. Misalnya saja yang sudah disebutkan di atas yaitu proklamasi, untuk membawa Indonesia merdeka, diperlukan proses yang panjang untuk merumuskan naskah proklamasi, bendera pusaka, dll.

D.      Keadaan Nasionalisme Daerah Pinggiran di Indonesia
Beberapa daerah pinggiran di Indonesia seperti daerah yang ada di Maluku mengalami marjinalisasi dalam beberapa decade terakhir ini yang perlu mendapat bisikan khusus dari pemerintah karena berdasarkan beberapa indikator peran masyarakat mengalami disfungionalisasi dalam sekat-sekat otonomi daerah yang menyembunyikan kebebasan dan ketidakberdayaan masyarakat pinggriran untuk memperjuangkan hak-haknya secara bijaksana dan lebih terbuka, jika pemerintah tidak memprioritaskan kebutuhan dan menempatkan kebijaksanaan lokal sesuai dengan keinginan masyarakat. Suatu hal yang seharusnya dihadapi dengan segala konsekuensinya adalah klaim tentang keindonesiaan di wilayah pinggiran harus dicabut. Hal ini menimbulkan ancaman nasionalisme atau lebih tepatnya memudarkan rasa nasionalisme di berbagai daerah pinggiran akibat arogansi penguasa. Penguasa sendiri telah menyebabkan ketidakpastian pertahanan dalam negara, sehingga mau tidak mau nasionalisme harus di permasalahkan. Mengingat nasionalisme atau mendaur ulang siklus integritas lokal, bukanlah perkara yang mudah untuk diselesaikan karena masyarakat perlu memiliki pengetahuan yang cukup tenyang nasionalisme dan integritas local (Salatalohnya, 2004:5).
Nasionalisme harus memiliki interpedensi antara satu dengan yang lain, diantarannya nasionalisme harus memberikan jaminan berlangsungnya kehidupan dan intergritas lokal (kesatuan lokal) perlu menunjukkan sikap santunnya kepada nasionalisme, jika hal tersebut terjadi maka dengan sendirinya terciptalah keadilan yang universal. Akan tetapi pada kenyataannya nasionalisme dengan paradigmanya yang begitu meluas telah meredisir hak-hak integritas lokal terutama integritas masyarakat di daerah pinggiran yang tersibbordinasi di ujung kekuasaan. Nasionalisme menciptakan harapan masif yang berujung pada anomali keutuhannya.
Sistem neo-liberalisme dan kolonialisme telah membungkus wajah nasionalisme yang sederhana sehingga nasionalisme tidak mampu menengok wajah-wajah orang yang terpinggirkan. Namun jika membicarakan tentang sejarah nasionalisme di Indonesia, Perkembangan sikap nasionalisme pada awal pergerakan nasional memberi dampak dan pengaruh yang sangat luar biasa terhadap  negara Indonesia sebagai upaya perlawanan terhadap penjajah(Salatalohnya, 2004:5).
Bangunan nasionalisme yang pernah ditegakkan oleh para pejuang, pahlawan, dan pendiri bangsa ini, adalah nasionalisme yang anti terhadap kolonialisme, artinya nasionalisme yang terbangun untuk mewujudkan bagaimana bangsa ini merdeka dan bebas dari belenggu kolonialisme. Jadi, telahterbuktibahwanasionalisme Indonesia yang kemudianterwujuddalamPancasilaadalahalat yang ampuhuntuk mengusir penjajah atau kolonialisme.
Untuk sampai pada bagaimana nasionalisme dalam konteks ke-Indonesia-an, sebelumnya perlu diketahui proses terwujudnya konsep nasionalisme. Diketahui bahwa secara umum nasionalisme berarti suatu paham, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi setempat dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda. Akan tetapi, baru pada akhir abad ke-18 M nasionalisme dalam arti kata modern menjadi suatu perasaan yang diakui secara umum.


DAFTAR RUJUKAN
Al-Hakim, Suparlan, dkk.2012. PendidikanKewarganegaraandalamKonteks Indonesia. Malang: PenerbitUniversitasNegeri Malang.
Dekker, Nyoman. 1997. SejarahPergerakandanRevolusiNasional. Malang: Penerbit IKIP Malang.
Ley, C. 1997 .Nasionalisme Dalam Wawasan Kebangsaan. Jakarta: Badan Pendidikan dan Pelatihan Deparrtemen Dalam Negeri.
Moesa, Ali Maschan. 2007. Nasionalisme Kyai, Jogjakarta: LKIS.
Salatalohnya, Fahmi & Pelu, A. 2004. Nasionalisme Kaum Pinggiran. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.

Soepriyatno. 2008. NasionalismedanKebangkitanEkonomi. Jakarta: INSIDe Press.

Comments

Popular posts from this blog

BERKEMBANGNYA PAN ISLAMISME SEBAGAI GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM DI DUNIA DAN PENGARUHNYA DI INDONESIA

SEJARAH PERKEMBANGAN LIBERALISME DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLITIK DAN EKONOMI INDONESIA

IMPLEMENTASI PEMIKIRAN DEMOKRASI PADA PEMERINTAHAN ORDE BARU TAHUN 1966-1998